Tuesday, 2 July 2013

Kenaikan harga pangan mempengaruhi inflasi



BAB I
PENDAHULUAN

1.1        Latar Berlakang
Masih besarnya pangsa pengeluaran pangan sebagian besar masyarakat berarti bobot inflasi kelompok pangan terhadap inflasi semakin besar. Apalagi karakter produk pangan dengan nilai elastisitas permintaan danpenawaran yang rendah menyebabkan besarnya fluktuasi harga pangan. Inflasi dan fluktuasinya dapat mempengaruhi pasar uang kemudian akan mempengaruhi stabilitas ekonomi makro. Stabilitas ekonomi makro merupakan jaminan bagi investor untuk berinvestasi sehingga dapat menciptakan lapangan kerja dan pertumbuhan ekonomi. Pengalaman menunjukkan suatu pemerintah dapat berganti rezim akibat masalah politik yang diikuti kelangkaan pangan di pasar dan meningkatnya laju inflasi. Berdasarkan hal itu, keterkaitan aspek harga pangan dan inflasi merupakan isu penting.

faktor moneter yang menyebabkan inflasi adalah peningkatan penawaran uang melebihi peningkatan permintaan uang, yang disebabkan oleh defisit pemerintah, pengembangan kredit olehsistem perbankan, dan surplus neraca pembayaran yang disebabkan oil booming dan bantuan asing; dan faktor yang disebabkan oleh cost push inflation adalah meningkatnya harga-harga komoditas utama di pasar domestic seperti bahan bakar minyak, beras, dll.Fenomena produk pangan di atas menuntut peran pemerintah agar produsen dan konsumen domestic dapat dilindungi. Peran tersebut diharapkan mampu mempercepat tercapainya tujuan pembangunan nasional. Untuk mencapai tujuan pembangunan nasional, diperlukan tujuan antara, dalam konteks ini adalah stabilitas harga pangan yang dapat dilakukan melaluikebijakan harga pangan.

salah satu tujuan kebijakan harga pangan adalah menstabilkan harga pangan agar mengurangi ketidakpastian petani dan menjamin harga pangan yang stabil bagi konsumen dan stabilitas harga di tingkat makro. Masalahnya adalah apakah intervensi kebijakan pemerintah berupa kebijakan pangan dapat menyebabkan kestabilan ekonomi makro atau sebaliknya justru menyebabkan ketidakstabilan ekonomi makro. Karena kebijakan harga membutuhkan dana, yang dimasa lalu bersumber dari uang segar (fresh money) dari Bank Indonesia, sehingga mempengaruhi penawaran uang atau melalui pengeluaran pemerintah. Bagi Indonesia sebagai Negara yang berbasis pertanian dengan jumlah penduduk yang besar, fenomena tersebut harus mendapat perhatian dan diantisipasi. Secara konsep teoritis, kebijakan harga pangan mampu mengendalikan kestabilan ekonomi makro. Sebaliknya, jika kebijakan harga pangan yang mempengaruhi penawaran uang dan pengeluaran pemerintah, tanpa kendali dapat juga menyebabkan ketidakstabilan ekonomi makro.


BAB II
PEMBAHASAN



2.1 Konsep Pangan
Menurut Undang-undang No 7 tahun 1996 yang mengatur tentang pangan (Pemerintah Republik Indonesia,1996), pangan adalah segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati dan air, baik yang diolah maupun tidak diolah, yang diperuntukkan sebagai makanan atau minuman bagi konsumsi manusia, termasuk bahan tambahan pangan, bahan baku pangan, dan bahan lain yang digunakan dalam proses penyiapan, pengolahan, dan atau pembuatan makanan atau minuman. Karena berkaitan dengan kebijakan harga pangan dan tidak semua komoditas pangan melibatkan pemerintah dalam bentuk kebijakan harga pangan maka tidak semua komoditas pangan akan dianalisis. Untuk itu digunakan kelompok pangan utama yang ada kaitannya dengan program kebijakan harga pangan.

2.2 Kebijakan Harga Pangan
Salah satu tujuan kebijakan harga pertanian adalah menstabilkan harga pertanian agar mengurangi ketidakpastian usahatani, serta menjamin harga pangan yang stabil bagi konsumen dan stabilitas harga di tingkat makro. Selanjutnya dikatakan, kebijakan harga pertanian dapat dilakukan melalui berbagai instrumen, yaitu kebijakan perdagangan, kebijakan nilai tukar, pajak dan subsidi, serta intervensi langsung. Secara tidak langsung stabilisasi harga dapat juga dilakukan melalui kebijakan pemasaran output dan kebijakan input. Kebijakan input antara lain berupa subsidi harga sarana produksi yang diberlakukan pemerintah terhadap pupuk, benih, pestisida, dan kredit.

 Berdasarkan penyebabnya, kebijakan stabilisasi harga atau stabilisasi harga dapat dilakukan dengan melakukan kebijakan harga pangan, yaitu kebijakan harga dasar (floor price) dan kebijakan harga tertinggi (ceiling price). Kebijakan ini menyebabkan ketidakseimbangan pasar sehingga diperlukan kebijakan pendukung, yaitu melakukan stok atau ekspor saat kebijakan harga dasar ditetapkan dan melakukan operasi pasar saat kebijakan harga atap ditetapkan.

Dari berbagai bentuk kebijakan yang ada, konsep kebijakann harga yang digunakan dalam penelitian ini adalah kebijakan harga input-ouput yang terdiri dari subsidi harga input, subsidi kredit pengadaan input, subsidi pengadaan pangan, dan subsidi kredit pengadaan pangan. Ukuran yang digunakan adalah jumlah dana (milyar rupiah) yang digunakan pemerintah untuk melaksanakan kebijakan tersebut.

2.3 Pengendalian Inflasi dan Pertumbuhan Ekonomi
Dengan mengetahui penyebab inflasi, dapat dijadikan dasar untuk mengendalikan inflasi dalam bentuk target inflasi untuk menjaga stabilitas ekonomi. Brooks dalam Debelle menunjukkan bahwa Negara yang melakukan target inflasi, rata-rata tingkat inflasi dan keragamannya telah menurun secara substansial dan pertumbuhan outputnya menjadi lebih tinggi dengan keragaman inflasi dan output yang lebih rendah. Kondisi perekonomian seperti ini lebih baik dari kondisi sebaliknya.

Di Indonesia kebijakan target inflasi diawali tahun 1999 dan hasil analisis CSIS (berbagai terbitan), menunjukkan target inflasi Bank Indonesia untuk tahun 2000 - 2002 tidak dapat tercapai. Kegagalan tersebut disebabkan oleh meningkatnya permintaan uang, kondisi politik yang tidak pasti, dan adanya musim kemarau yang menyebabkan naiknya harga bahan makanan. Di Negara maju, harga bahan makanan dan situasi politik, sudah tidak signifikan mempengaruhi target inflasi, kecuali faktor-faktor moneter.

 Pada periode 1970-1979 sumbangan bahan makanan dalam inflasi mencapai 57,47 persen dan menurun menjadi 31.17 persen pada periode tahun 1990-1998. Hal ini mengindikasikan pembangunan pertanian dan kebijakan pendukungnya berhasil meredam peningkatan harga bahan pangan sehingga tidak lagi menjadi sumber penyebab utama inflasi seperti pada periode 1960 – 1970. Namun karena kuatnya hubungan harga beras terhadap komoditas lain, maka stabilisasi harga beras tetap menjadi bagian strategis dari stabilisasi ekonomi (PSE, 2003).

Menurut Gunawan, ketatnya pengaturan harga pangan di Indonesia menyebabkan berkurangnya ketidakstabilan ekonomi makro. Hal yang sama terjadi di beberapa negara, seperti yang disitir maupun yang dihasilkan dari studi Kannapiran  menunjukkan skim stabilitas harga komoditas dapat mengurangi instabilitas ekonomi makro, tetapi pada beberapa hasil penelitian ada yang menciptakan sedikit fluktuasi, khususnya pada balance of payment dan stabilitas moneter. Hal itu disebabkan kebijakan stabilitas harga tidak memberikan kontribusi yang baik terhadap manajemen ekonomi makro. Penelitian  menunjukkan bahwa laju inflasi dipengaruhi oleh harga riil beras eceran, peningkatan harga dasar gabah lebih menguntungkan petani padi, konsumen beras tetap diuntungkan (ketahanan pangan meningkat), dan stabilitas ekonomi makro terjaga (pertumbuhan ekonomi meningkat, pengangguran berkurang dan inflasi mengalami penurunan), serta partai politik dan pemerintah diuntungkan karena faktor politik (ketahanan nasional) mengalami penguatan, sedangkan peningkatan subsidi pupuk berdampak positif meningkatkan penggunaan pupuk, produktivitas padi, produksi dan penawaran beras, pendapatan usahatani dan konsumsi beras, serta berdampak positif terhadap stabilitas ekonomi makro dan stabilitas politik.


2.4 Indikator dan Stabilitas Ekonomi Makro
Indikator ekonomi makro yang dimaksud disini  adalah inflasi, kesempatan kerja, pertumbuhan ekonomi, dan neraca perdagangan (proksi dari neraca pembayaran) yang merupakan indikator kunci. Variabel ekonomi makro tersebut saling terkait melalui pasar barang, pasar uang, pasar tenaga kerja, serta pasar saham yang membentuk keseimbangan internal (macro equilibrium) dan keseimbangan eksternal (balance of payment-BOP). Selain itu, variabel ekonomi makro lain yang diamati adalah nilai tukar rupiah terhadap dolar AS, suku bunga bank, penawaran uang, dan investasi. Stabilitas ekonomi makro dapat dilihat dari pengaruh guncangan kebijakan harga pangan atau variabel ekonomi makro lainnya terhadap variable kunci indikator ekonomi makro.

 Jika suatu guncangan menimbulkan fluktuasi yang besar pada variabel ekonomi makro, maka dapat dikatakan stabilitas ekonomi makro rentan terhadap guncangan tersebut. Sebaliknya, jika dampaknya menimbulkan fluktuasi yang kecil, maka dapat dikatakan stabilitas ekonomi makro stabil. Ukuran yang digunakan dalam mengukur stabilitas dalam studi ini adalah dampak guncangan/shock terhadap: (1) perbedaan nilai awal dan akhir variabel endogen, (2) besarnya variasi yang dilihat dari amplitudo fluktuasi variabel endogen, dan (3) panjangnya waktu fluktuasi variabel endogen untuk mencapai pada keseimbangan baru, serta (4) koefisien variasi. Suatu guncangan dapat menyebabkan keseimbangan baru, kondisinya meningkat, tetap, atau menurun dari kondisi keseimbangan saat awal guncangan.

 Tujuan utama kebijakan harga pangan adalah untuk menjaga stabilitas harga pangan agar tingkat inflasi dapat dikendalikan. Selanjutnya tingkat inflasi mempengaruhi suku bunga di pasar uang. Kemudian suku bunga mempengaruhi investasi di pasar barang. Inflasi juga mempengaruhi permintaan tenaga kerja di pasar tenga kerja dan seterusnya ada keterkaitan antara variable ekonomi makro, sehingga terjadi keseimbangan. Adanya keterkaitan antara variabel secara simultan yang saling mempengaruhi maka hubungan diantaranya lebih tepat jika dispesifikasi dalam model VAR (Vector Autoregressive). Bentuk umum model VAR sesuai dengan ordo optimal hasil uji Likelihood Ratio sebanyak adalah:


Dengan model VAR, semua variabel harus memenuhi syarat stationer. Jika syarat itu terpenuhi, model tersebut hanya dapat melihat isu jangka pendek. Untuk memperoleh isu jangka panjang dan jangka pendek, pendekatan alternatifnya adalah model VECM (Vector Error Correction Model). Dengan kata
lain, pendekatan VAR harus dikombinasikan dengan VECM Menurut Ward dan Siregar rumus umum model VECM adalah:

dimana:

Vektor kointegrasi (ß’) menunjukkan hubungan jangka panjang terhadap variabel yang akan dianalisis. Vektor kointegrasi ini dapat ditunjukkan dalam bentuk matriks kointegrasi berdasarkan banyaknya persamaan jangka panjang yang dihasilkan pada pengujian kointegrasi. Hasil pendugaan VECM digunakan untuk memperoleh inovasi informasi dalam jangka pendek dan jangka panjang dengan tingkat perubahan tertentu.

2.5 Dampak Kebijakan dan Keseimbangan Ekonomi Makro
Variabel ekonomi makro yang menjadi isu utama adalah pertumbuhan output, laju inflasi, pengangguran, dan neraca pembayaran. Variabel ekonomi makro tersebut saling terkait melalui pasar barang, pasar uang, pasar tenaga kerja, dan pasar saham yang membentuk keseimbangan internal (macro equilibrium) dan keseimbangan eksternal. Jika terjadi kegagalan panen pada suatu negara dimana kontribusi pengeluaran pangan masyarakatnya lebih tinggi dari pengeluaran nonpangan, akan memberikan efek pada ekonomi makro. Gagal panen cenderung akan meningkatkan harga pangan. Dengan asumsi hanya terdapat dua sektor dalam ekonomi, pangan dan nonpangan, harga pangan akan meningkat dari P0 P dan P1 P. Ini berimplikasi pengeluaran untuk pangan meningkat dan akan berimbas ke sektor nonpangan berupa penurunan harga dan inflasi akan meningkat (Gambar 1). Sebaliknya, jika ada kenaikan produksi pangan. Dengan demikian, fluktuasi panen akan menyebabkan instabilitas, baik bagi konsumen beras, petani padi, maupun produsen manufaktur. Dalam kasus gangguan suplai positif dan ada intervensi pemerintah, agar tidak terjadi penurnan harga ekses suplai tersebut perlu dikumpulkan. Pengumpulan pangan tersebut membutuhkan dana. Sebelum tahun 1999, digunakan dana Bank Indonesia (BI). Ada dua kebijakan berbeda yang mungkin dijalankan terhadap uang yang digunakan untuk menahan dan/atau mendistribusikan suplai pangan. Kemungkinan pertama, tidak ada “sterilisasi”. Pembelian excess supply menggunakan dana BI akan meningkatkan suplai uang dan level harga agregat.



Kemungkinan kedua, BI melakukan sterilisasi terhadap perubahan pada suplai uang yang digunakan untuk mengumpulkan dan/atau mendistribusikan suplai beras. Jika ini dilakukan berdasarkan satu untuk satu, hasilnya adalah sterilisasi sempurna. Dalam skenario ini, surplus panen tidak menyebabkan peningkatan suplai uang dan level harga agregat. Pada kondisi pemerintah melakukan intervensi tanpa sterilisasi dan ekonomi dalam keadaan tertutup, berarti BI menambah penawaran uang ke pasar dan akan mempengaruhi keseimbangan di pasar uang. Meningkatnya penawaran uang pada tingkat harga tetap, akan menyebabkan kurva penawaran MS/P bergeser ke kanan dari MS0/P0 ke MS1/P0 (Gambar 2a). Pada tingkat harga yang sama akan menyebabkan ekses penawaran uang sehingga meningkatkan permintaan terhadap Bond. Pada penawaran Bond tetap maka harga Bond meningkatUntuk memperoleh imbal hasil yang sama maka suku bunga Bond harus menurun. Begesernya MS/P ke kanan, yang diikuti dengan menurunnya r dari r0 ke r1, menyebabkan kurva LM juga bergeser ke kanan dari LM0 ke LM1 dan investasi meningkat melalui pergerakan sepanjang kurva IS0, sehingga output meningkat dari Y0 ke Y1 (Gambar 2b). Kenaikan output pada harga tetap di P0 menyebabkan kurva AD bergeser ke kanan, dari AD0 ke AD1, yang menyebabkan ekses permintaan. Ekses permintaan ini meningkatkan harga dari P0 ke P1 (Gambar 2c). Kenaikan P dari P0 ke P1 menggeser keseimbangan di pasar uang sehingga MS1/P0 bergeser ke kiri atas menjadi MS1/P1. Hal ini menyebabkan kurva LM1 bergeser ke kiri atas menjadi LM2. Pergeseran ini menaikkan suku bunga yang menyebabkan investasi berkurang, sehingga output turun dari Y1 ke Y2 dan terjadi keseimbangan.



Di pasar tenaga kerja, kenaikan harga dari P0 ke P1 menyebabkan pengusaha meningkatkan produksi sehingga butuh tenaga kerja lebih banyak yang ditunjukkan oleh bergesernya kurva WD ke kanan atas, dari WD0 ke WD1. Dengan menggunakan asumsiKeynessian (p<1), peningkatan permintaan tenaga kerja tersebut direspon oleh tenaga kerja dengan menawarkan tenaga kerja lebih rendah yang ditunjukkan oleh bergesernya kurwa WS ke kiri atas, namun pergeserannya lebih kecil dari pergeseran WD (Gambar 3b). Keseimbangan makro baru terjadi pada tingkat output Y2, harga P1, suku bunga r2, dan tenaga kerja N2. Intervensi pemeritah dengan adanya kelebihan produksi tanpa sterilisasi pada perekonomian tertutup menyebabkan pertumbuhan ekonomi yang diikuti oleh meningkatnya inflasi, penurunan suku bunga, dan meningkatnya kesempatan kerja.


Dari uraian di atas dapat dilihat bahwa gangguan panen atau panen raya dapat mempengaruhi kondisi ekonomi makro melalui berbagai jalur, di antaranya melalui inflasi, suku bunga bank, pertumbuhan ekonomi, investasi, kurva produksi agregat, dan penawaran uang. Untuk mengantisipasi dampak
gangguan panen atau panen raya terhadap stabilitas ekonomi makro pemerintah melakukan kebijakan harga pangan.

BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Baik jangka pendek maupun jangka panjang, kebijakan harga pangan
yang merupakan kebijakan harga input-output menyebabkan PDB kontraksi dan inflasi, namun tidak menyebabkan naiknya tingkat pengangguran. Walaupun menyebabkan kontraksi ekonomi dan inflasi, kebijakan harga pangan secara relatif tidak menyebabkan instabilitas ekonomi makro dibandingkan kebijakan moneter. Kebijakan moneter awalnya meningkatkan inflasi, namun pada triwulan kedua setelah kebijakan mampu menurunkan inflasi. Penurunan inflasi tersebut menyebabkan perekonomian mengalami kontraksi sehingga meningkatkan angka pengangguran.
Implikasi Kebijakan Kontraksi PDB dan inflasi (stagflasi) yang terjadi akibat guncangan kebijakan harga pangan karena kebijakan ini menggunakan dana KLBI dan masih didukung dengan pengadaan pangan impor.

Akibatnya, neraca  perdagangan defisit, PDB kontraksi, dan inflasi meningkat. Oleh karena itu, dimasa yang akan datang sebaiknya kebijakan harga pangan dilakukan dengan dukungan produksi pangan dalam negeri. Namun demikian, kebijakan impor pangan masih tetap diperlukan pada batas-batas tertentu, misalnya pada saat produksi dan stok pangan tidak mencukupi, serta untuk menghindari munculnya spekulasi yang melakukan penimbunan stok pangan. Ketidakmampuan kebijakan moneter menurunkan angka pengangguran
tapi mampu menurunkan inflasi dan di sisi lain kebijakan harga pangan
menyebabkan inflasi tetapi mampu menurunkan angka pengangguran, membuktikan bahwa setiap kebijakan mempunyai kelebihan dan kekurangan.
Oleh sebab itu, suatu kebijakan dengan kebijakan yang lain harus saling mendukung.
Daftar Pustaka

1.      Epsdin. 2008. ”Mengatasi Kenaikan Harga Pangan”, (Online), (http://epsdin.wordpress.com/2008/02/23/mengatasi-kenaikan-harga-pangan/ ).
2.      Putong, Iskandar. 2003. Pengantar Ekonomi Mikro & Makro. Jakarta: Ghalia Indonesia.
3.      http://notcupz.blogspot.com/2011/05/dampak-kebijakan-harga-pangan-dan.html

No comments:

Post a Comment