Tuesday, 2 July 2013

Dampak kenaikan harga BBM



KEBIJAKAN pemerintah menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) kerap menimbulkan polemik pro dan kontra atas pertanyaan; Mengapa perlu penyesuaian harga BBM? Bagaimana dampak terhadap harga kebutuhan pokok dan kesejahteraan rumah tangga miskin? Seperti telah diumumkan dan diberlakukan resmi mulai Sabtu (22/6) lalu, kenaikan harga BBM rata-rata sebesar 40%, yaitu premium dari Rp 4.500 menjadi Rp 6.500 per liter (naik 44,44%), dan solar dari Rp 4.500 menjadi Rp 5.500 per liter (naik 22,22%).
Bagi kalangan pro, alasanya menaikkan harga BBM akan mengurangi belanja subsidi BBM dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Subsidi BBM, yang, diperkenalkan pertama kali pada era 1960-an, rata-rata menyedot 20% APBN. Pada 2013, subsidi BBM tercatat Rp 199,85 triliun (sekitar 16%) dari APBN dengan kuota 48 juta kiloliter. Bila harga BBM tidak disesuaikan membuat negara tekor dan pemerintah wajib menyelamatkan agar perekonomian negara dalam kondisi baik.
Selanjutnya menurut mereka tanpa reformasi harga, kebijakan diversifikasi energi jangka panjang tidak akan berjalan. Subsidi membuat harga BBM dalam negeri jauh lebih murah dari harga internasional. Harga yang tidak rasional telah mengakibatkan konsumsi yang berlebihan (boros) dan kemungkinan besar diselundupkan ke luar negeri. Lebih tragis selama ini subsidi BBM lebih banyak dinikmati oleh rumah tangga kaya, karena subsidi komoditas bisa dinikmati semua kalangan (termasuk minyak tanah sekalipun).
 Infrastruktur terbaikan. Masih besarnya beban subsidi BBM menyebabkan alokasi untuk pendidikan, kesehatan atau infrastruktur terabaikan. Masyarakat tidak akan mendapatkan pendidikan dan kesehatan yang layak. Alasan itu, pemerintah mengalihkan pengurangan subsidi BBM ini dalam bentuk bantuan langsung melalui Program Kompensasi Pengurangan Subsidi BBM yang tujuannya meringankan beban rumah tangga miskin (RTM). Satu program yang dirancang kini adalah Bantuan Langsung Sementara Masyarakat (BLSM).

Sebaliknya pendapat kalangan kontra, kebijakan menaikan harga BBM oleh pemerintah berdampak langsung terhadap kenaikan harga. Kondisi ini jelas akan memberatkan masyarakat, terutama rumah tangga miskin dalam memenuhi kebutuhan pokok, seperti pangan, kesehatan, pendidikan dan lain-lain. Kebijakan yang tidak populis ini akan meningkatkan jumlah RTM walaupun dengan pemberian kompensasi.
Menurut mereka, konsep BLSM atau cash transfer tidak dapat dipakai sebagai instrumen untuk mengentaskan kemiskinan. BLSM lebih merupakan mekanisme pengaman sosial, dan bukan mekanisme penurunan kemiskinan. BLSM adalah mekanisme redistribusi pendapatan yang tidak dapat menjawab masalah inti kemiskinan, yakni ketidakmampuan untuk menghasilkan pendapatan yang mencukupi untuk hidup layak.

Namun demikian keduanya sepakat, bahwa kenaikan harga BBM akan berdampak pada kenaikan harga barang dan jasa (inflasi), yang pada gilirannya akan menurunkan daya beli (pendapatan riel). Daya beli yang turun, bila tidak dikompensasi, akan meningkatkan kemiskinan. Kementerian Keuangan memperkirakan bahwa kenaikan BBM akan meningkatkan inflasi 2013 menjadi 7,2% atau tertinggi sejak inflasi 11% yang pernah terjadi pada 2008. Artinya kenaikan harga BBM ini memberi tambahan pada inflasi sekitar 0,5% menjadi 7,7% pada bulan Juli atau satu bulan setelah kenaikan BBM. Elastisitas inflasi terhadap garis kemiskinan berkisar 1,3%. Dengan kata lain, kalau harga naik 10%, garis kemiskinan akan naik 13%.
Bagaimana dengan dampaknya pada kemiskinan di Aceh? Kalangan pro berargumentasi bahwa persentase penduduk miskin akan meningkat karena adanya kenaikan harga BBM, namun akan menurun jika diberikan dana kompensasi (BLSM). Sebaliknya kalangan kontra menunjukkan, walau telah dilakukan penyaluran dana kompensasi dengan asumsi itu efektif, tepat sasaran, dan tidak mengalami kebocoran, tetap tak akan mengurangi rakyat miskin, daya beli masyarakat tetap menurun karena inflasinya lebih besar dari kenaikan pendapatan.

Sebelum kita melihat apa yang terjadi pada 2013 ini, mari kita perhatikan dampak dari kenaikan harga BBM bersubsidi yang pernah terjadi di Indonesia beberapa tahun lalu dan bagaimana dampak dari kenaikan harga BBM terhadap inflasi sejak 2005 dan 2008.
Pada 2005 kenaikan harga BBM pertama kali dilakukan pada 1 Maret 2005 dari Rp 1.810 per liter menjadi Rp 2.400 per liter. Tujuh bulan kemudian pada 1 Oktober 2005, pemerintah kembali menaikkan harga BBM sebesar 87,5% dari Rp 2.400 per liter menjadi Rp 4.500 per liter. Pada 2005 inflasi level nasional mencapai 17,11%.
Di Aceh perkembangan tingkat inflasi di Kota Banda Aceh dan Kota Lhokseumawe sangat berfluktuatif. Selama tahun 2005, inflasi sebesar 41,11% di Kota Banda Aceh dan 17,57% di Kota Lhokseumawe. Rata-rata laju inflasi di kedua kota tersebut lebih besar dari rata-rata nasional sebesar 17,11%.

Pada 2008, tepatnya 24 Mei 2008 pemerintah kembali menaikkan harga BBM dari Rp 4.500 per liter ke harga Rp 6.000 per liter, sehingga menyebabkan peningkatan inflasi kembali mencapai double digit ke 11,06%. Di tingkat provinsi Aceh perkembangan tingkat inflasi di Kota Banda Aceh dan Kota Lhokseumawe sangat berfluktuatif. Selama kurun waktu 2008 tingkat inflasi tertinggi terjadi pada 2008, yaitu sebesar 10,27% di Kota Banda Aceh dan 13,78% di Kota Lhokseumawe. Rata-rata laju inflasi di kedua kota tersebut lebih besar dari rata-rata nasional sebesar 12,02%. Artinya, inflasi telah meningkat pada tahun ketika harga BBM dinaikkan.

Bagaimana dengan dampak kemiskinan? Menurut data World Bank, tingkat kemiskinan di Aceh sebelum kenaikan BBM sebesar 28,4% dari jumlah penduduk pada 2004, jauh lebih tinggi daripada tingkat kemiskinan nasional Indonesia, yaitu sebesar 16,7%. Kemiskinan di Aceh meningkat tajam pada 2005 saat kenaikan BBM mencapai 32,6%. Tingkat kemiskinan turun menjadi 26,50% pada 2006. Pada 2007 masih terjadi fenomena naik turunnya angka kemiskinan. dan 2008 menjadi sebesar 23,53% persen. Di sini ada konsistensi pendapat kalangan kontra dan data empirisnya.
 Peningkatan kemiskinan

Amat naif bila menyimpulkan bahwa pendapat kalangan kontra pasti benar, alasannya peningkatan kemiskinan di Aceh pada 2005-2006 mungkin disebabkan oleh hal-hal lain di luar kenaikan harga BBM, misalnya, bencana gempa bumi dan tsunami Aceh-Nias pada 2004 yang menelan korban jiwa dan harta dalam jumlah yang luar biasa menyebabkan tingkat kemiskinan pada 2005 melonjak tajam. Artinya, pendapat kedua kalangan benar, sekaligus juga bisa salah.

Sayangnya bagi kita masyarakat luas khususnya kalangan awam, kenaikan harga BBM tidak dapat menarik kesimpulan relatif dari kedua pendapat tersebut. Namun, di tingkat mikro kita dapat merasakan dari pola sebelumnya. Kenaikan harga BBM terakhir terjadi 2008. Oleh karena itu, secara sederhana kita dapat menghitung dampaknya bagi keluarga kita berdasarkan data yang sudah terjadi.

Kita anggap rumah tangga kita yang pengeluarannya sama dengan garis kemiskinan. Asumsikan garis kemiskinan rata-rata sekitar Rp 900 ribu per keluarga per bulan. Kenaikan harga BBM sebesar 40% akan menaikan harga barang rata-rata 12%, yang sebetulnya hanya meningkatkan biaya belanja per rumah tangga berkisar Rp 108 ribu per bulan. Apabila biaya transportasi diperhitungkan lagi, dengan asumsi total pengeluaran meningkat sekitar Rp 12 ribu per bulan per rumah tangga. Sehingga total peningkatan pengeluaran per rumah tangga per bulan adalah Rp 120 ribu.

Lalu karena keluarga ini tercatat sebagai RTM, mendapatkan BLSM sebesar Rp 150 ribu per bulan, beras untuk keluarga miskin (raskin) 10 Kg dan membayar hanya Rp 1.600/Kg, keluarga ini secara implisit mendapat transfer sebesar 10 x (Rp 3.600 - Rp 1.600) = Rp 20.000 per bulan. Hanya dengan menghitung BLSM dan raskin saja, keluarga kita telah overcompensated (Rp 170.000 - Rp 120.000 = Rp 50.000). Apalagi kalau ditambahkan dengan kompensasi pendidikan dan kesehatan. Akibat transfer yang diperoleh kenaikan harga BBM tadi, pendapatan keluarga kita sebenarnya mengalami kenaikan.


 sumber

No comments:

Post a Comment