KEBIJAKAN pemerintah menaikkan harga bahan bakar
minyak (BBM) kerap menimbulkan polemik pro dan kontra atas pertanyaan; Mengapa
perlu penyesuaian harga BBM? Bagaimana dampak terhadap harga kebutuhan pokok
dan kesejahteraan rumah tangga miskin? Seperti telah diumumkan dan diberlakukan
resmi mulai Sabtu (22/6) lalu, kenaikan harga BBM rata-rata sebesar 40%, yaitu
premium dari Rp 4.500 menjadi Rp 6.500 per liter (naik 44,44%), dan solar dari
Rp 4.500 menjadi Rp 5.500 per liter (naik 22,22%).
Bagi kalangan pro, alasanya menaikkan harga BBM akan
mengurangi belanja subsidi BBM dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara
(APBN). Subsidi BBM, yang, diperkenalkan pertama kali pada era 1960-an,
rata-rata menyedot 20% APBN. Pada 2013, subsidi BBM tercatat Rp 199,85 triliun
(sekitar 16%) dari APBN dengan kuota 48 juta kiloliter. Bila harga BBM tidak
disesuaikan membuat negara tekor dan pemerintah wajib menyelamatkan agar
perekonomian negara dalam kondisi baik.
Selanjutnya menurut mereka tanpa reformasi harga,
kebijakan diversifikasi energi jangka panjang tidak akan berjalan. Subsidi
membuat harga BBM dalam negeri jauh lebih murah dari harga internasional. Harga
yang tidak rasional telah mengakibatkan konsumsi yang berlebihan (boros) dan
kemungkinan besar diselundupkan ke luar negeri. Lebih tragis selama ini subsidi
BBM lebih banyak dinikmati oleh rumah tangga kaya, karena subsidi komoditas
bisa dinikmati semua kalangan (termasuk minyak tanah sekalipun).
Infrastruktur terbaikan. Masih besarnya beban subsidi BBM menyebabkan alokasi untuk pendidikan,
kesehatan atau infrastruktur terabaikan. Masyarakat tidak akan mendapatkan
pendidikan dan kesehatan yang layak. Alasan itu, pemerintah mengalihkan
pengurangan subsidi BBM ini dalam bentuk bantuan langsung melalui Program
Kompensasi Pengurangan Subsidi BBM yang tujuannya meringankan beban rumah
tangga miskin (RTM). Satu program yang dirancang kini adalah Bantuan Langsung
Sementara Masyarakat (BLSM).
Sebaliknya pendapat kalangan kontra, kebijakan
menaikan harga BBM oleh pemerintah berdampak langsung terhadap kenaikan harga.
Kondisi ini jelas akan memberatkan masyarakat, terutama rumah tangga miskin
dalam memenuhi kebutuhan pokok, seperti pangan, kesehatan, pendidikan dan
lain-lain. Kebijakan yang tidak populis ini akan meningkatkan jumlah RTM
walaupun dengan pemberian kompensasi.
Menurut mereka, konsep BLSM atau cash transfer tidak
dapat dipakai sebagai instrumen untuk mengentaskan kemiskinan. BLSM lebih
merupakan mekanisme pengaman sosial, dan bukan mekanisme penurunan kemiskinan.
BLSM adalah mekanisme redistribusi pendapatan yang tidak dapat menjawab masalah
inti kemiskinan, yakni ketidakmampuan untuk menghasilkan pendapatan yang
mencukupi untuk hidup layak.
Namun demikian keduanya sepakat, bahwa kenaikan
harga BBM akan berdampak pada kenaikan harga barang dan jasa (inflasi), yang
pada gilirannya akan menurunkan daya beli (pendapatan riel). Daya beli yang
turun, bila tidak dikompensasi, akan meningkatkan kemiskinan. Kementerian
Keuangan memperkirakan bahwa kenaikan BBM akan meningkatkan inflasi 2013
menjadi 7,2% atau tertinggi sejak inflasi 11% yang pernah terjadi pada 2008.
Artinya kenaikan harga BBM ini memberi tambahan pada inflasi sekitar 0,5%
menjadi 7,7% pada bulan Juli atau satu bulan setelah kenaikan BBM. Elastisitas
inflasi terhadap garis kemiskinan berkisar 1,3%. Dengan kata lain, kalau harga
naik 10%, garis kemiskinan akan naik 13%.
Bagaimana dengan dampaknya pada kemiskinan di Aceh?
Kalangan pro berargumentasi bahwa persentase penduduk miskin akan meningkat
karena adanya kenaikan harga BBM, namun akan menurun jika diberikan dana
kompensasi (BLSM). Sebaliknya kalangan kontra menunjukkan, walau telah
dilakukan penyaluran dana kompensasi dengan asumsi itu efektif, tepat sasaran,
dan tidak mengalami kebocoran, tetap tak akan mengurangi rakyat miskin, daya
beli masyarakat tetap menurun karena inflasinya lebih besar dari kenaikan
pendapatan.
Sebelum kita melihat apa yang terjadi pada 2013 ini,
mari kita perhatikan dampak dari kenaikan harga BBM bersubsidi yang pernah
terjadi di Indonesia beberapa tahun lalu dan bagaimana dampak dari kenaikan
harga BBM terhadap inflasi sejak 2005 dan 2008.
Pada 2005 kenaikan harga BBM pertama kali dilakukan
pada 1 Maret 2005 dari Rp 1.810 per liter menjadi Rp 2.400 per liter. Tujuh
bulan kemudian pada 1 Oktober 2005, pemerintah kembali menaikkan harga BBM
sebesar 87,5% dari Rp 2.400 per liter menjadi Rp 4.500 per liter. Pada 2005
inflasi level nasional mencapai 17,11%.
Di Aceh perkembangan tingkat inflasi di Kota Banda
Aceh dan Kota Lhokseumawe sangat berfluktuatif. Selama tahun 2005, inflasi
sebesar 41,11% di Kota Banda Aceh dan 17,57% di Kota Lhokseumawe. Rata-rata
laju inflasi di kedua kota tersebut lebih besar dari rata-rata nasional sebesar
17,11%.
Pada 2008, tepatnya 24 Mei 2008 pemerintah kembali
menaikkan harga BBM dari Rp 4.500 per liter ke harga Rp 6.000 per liter,
sehingga menyebabkan peningkatan inflasi kembali mencapai double digit ke
11,06%. Di tingkat provinsi Aceh perkembangan tingkat inflasi di Kota Banda
Aceh dan Kota Lhokseumawe sangat berfluktuatif. Selama kurun waktu 2008 tingkat
inflasi tertinggi terjadi pada 2008, yaitu sebesar 10,27% di Kota Banda Aceh
dan 13,78% di Kota Lhokseumawe. Rata-rata laju inflasi di kedua kota tersebut
lebih besar dari rata-rata nasional sebesar 12,02%. Artinya, inflasi telah
meningkat pada tahun ketika harga BBM dinaikkan.
Bagaimana dengan dampak kemiskinan? Menurut data
World Bank, tingkat kemiskinan di Aceh sebelum kenaikan BBM sebesar 28,4% dari
jumlah penduduk pada 2004, jauh lebih tinggi daripada tingkat kemiskinan
nasional Indonesia, yaitu sebesar 16,7%. Kemiskinan di Aceh meningkat tajam
pada 2005 saat kenaikan BBM mencapai 32,6%. Tingkat kemiskinan turun menjadi
26,50% pada 2006. Pada 2007 masih terjadi fenomena naik turunnya angka
kemiskinan. dan 2008 menjadi sebesar 23,53% persen. Di sini ada konsistensi
pendapat kalangan kontra dan data empirisnya.
Peningkatan kemiskinan
Amat naif bila menyimpulkan bahwa pendapat kalangan kontra pasti benar,
alasannya peningkatan kemiskinan di Aceh pada 2005-2006 mungkin disebabkan oleh
hal-hal lain di luar kenaikan harga BBM, misalnya, bencana gempa bumi dan
tsunami Aceh-Nias pada 2004 yang menelan korban jiwa dan harta dalam jumlah
yang luar biasa menyebabkan tingkat kemiskinan pada 2005 melonjak tajam. Artinya,
pendapat kedua kalangan benar, sekaligus juga bisa salah.
Sayangnya bagi kita masyarakat luas khususnya
kalangan awam, kenaikan harga BBM tidak dapat menarik kesimpulan relatif dari
kedua pendapat tersebut. Namun, di tingkat mikro kita dapat merasakan dari pola
sebelumnya. Kenaikan harga BBM terakhir terjadi 2008. Oleh karena itu, secara
sederhana kita dapat menghitung dampaknya bagi keluarga kita berdasarkan data
yang sudah terjadi.
Kita anggap rumah tangga kita yang pengeluarannya
sama dengan garis kemiskinan. Asumsikan garis kemiskinan rata-rata sekitar Rp
900 ribu per keluarga per bulan. Kenaikan harga BBM sebesar 40% akan menaikan
harga barang rata-rata 12%, yang sebetulnya hanya meningkatkan biaya belanja
per rumah tangga berkisar Rp 108 ribu per bulan. Apabila biaya transportasi
diperhitungkan lagi, dengan asumsi total pengeluaran meningkat sekitar Rp 12
ribu per bulan per rumah tangga. Sehingga total peningkatan pengeluaran per
rumah tangga per bulan adalah Rp 120 ribu.
Lalu karena keluarga ini tercatat sebagai RTM,
mendapatkan BLSM sebesar Rp 150 ribu per bulan, beras untuk keluarga miskin
(raskin) 10 Kg dan membayar hanya Rp 1.600/Kg, keluarga ini secara implisit
mendapat transfer sebesar 10 x (Rp 3.600 - Rp 1.600) = Rp 20.000 per bulan.
Hanya dengan menghitung BLSM dan raskin saja, keluarga kita telah
overcompensated (Rp 170.000 - Rp 120.000 = Rp 50.000). Apalagi kalau
ditambahkan dengan kompensasi pendidikan dan kesehatan. Akibat transfer yang
diperoleh kenaikan harga BBM tadi, pendapatan keluarga kita sebenarnya
mengalami kenaikan.
sumber
No comments:
Post a Comment